Solider seluruh buruh/pekerja yang menolak membayar iuran pada Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan melalui sejumlah aksi massal selama ini, sepertinya sudah mulai mencair.
Dalam pertemuan tim kecil yang dihadiri perwakilan dari tripartit, yakni pekerja dan pemerintah, kecuali pengusaha, baru-baru ini di Jakarta, sebagian buruh menyepakati untuk turut mengiur (bayar iuran - red).
Ketua Dewan Jaminan Sosial Nasional (DJSN) sekaligus Wakil Ketua Tim Kelompok Kerja (Pokja) BPJS Kesehatan, Ghazali Situmorang, mengatakan, dalam pertemuan paripurna yang difasilitasi DJSN untuk menyamakan persepsi itu, pihak buruh berada pada dua posisi.
Di satu pihak, sebagian buruh telah menyadari bahwa ada kewajiban mengiur untuk mereka sesuai perintah Undang-Undang 40/2004 tentang Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN), sedangkan di pihak lainnya sebagian buruh tetap bertahan tidak mau mengiur.
Buruh yang sepakat mengiur asalkan dengan persentase iuran tidak sebesar yang ditetapkan pemerintah yaitu 5 persen, dimana 3 persen dibayarkan pemberi pekerja dan 2 persen oleh pekerja. Ada sejumlah alternatif formulasi besaran iuran yang diusulkan mereka, di antaranya sama dengan premi untuk PNS yakni 4 persen, tetapi pada tahap awal 3 persen dibayarkan pemberi kerja/pemerintah dan 1 persen oleh pemberi kerja. Sebagian buruh juga mengharapkan besaran iuran dilakukan secara gradual.
“Memang belum semua buruh sepakat, karena mereka ini memiliki banyak delegasi. Tetapi yang penting sudah ada kemajuan pemahaman dari mereka tentang kontribusi mengiur. Kami optimis dengan meningkatkan sosialisasi dan advokasi, semua buruh akan memiliki pemahaman yang sama bahwa sistem jaminan ini menganut prinsip gotong royong,” kata Ghazali di Jakarta, Minggu (3/2).
Ia mengatakan, DJSN sudah mengajukan hasil dan konsep pertemuan tim kecil tersebut kepada Lembaga Kerja Sama Tripartit Nasional (LKS Tritnas), dan keputusan ada di tangan pleno ini. DJSN akan terus mengawal, jangan sampai keputusan tersebut tidak sesuai dengan amanat UU SJSN, misalnya mengakomodir kepentingan buruh yang tidak mau membayar iuran.
Ghazali menambahkan, selain iuran untuk pekerja formal, besaran iuran untuk Penerima Bantuan Iuran (PBI) bagi penduduk miskin dan tidak mampu pun masih terkendala. Pasalnya, sampai saat ini besaran iuran PBI yang diusulkan Tim Pokja BPJS Kesehatan sebesar Rp 22.200 belum disepakati Kementerian Keuangan (Kemkeu) karena alasan beban fiskal negara.
Alhasil, Peraturan Presiden (PerPres) 12/2013 tentang Jaminan Kesehatan (JK) yang baru diteken Presiden pada Januari tahun ini, tidak menetapkan besaran iuran pada BAB Iuran. Besaran iuran untuk PBI dan non PBI (pekerja formal dan informal) akan ditetapkan dengan rancangan PerPres baru, yang dipastikan sudah siap sebelum akhir tahun ini.
“Dengan disahkannya PerPres JK, dan juga Peraturan Pemerintah 101/2012 tentang PBI, maka dua peraturan pelaksana yang menentukan pelaksanaan BPJS Kesehatan pada 1 Januari 2014 sudah siap. Tinggal menunggu kesepakatan soal besaran iuran. Juga diharapkan segera disusun Permenkes untuk menindak lanjuti PerPres ini, karena ada sejumlah pasal yang membutuhkannya,” kata Ghazali.
Sementara itu, Direktut PT Askes dr Fachmi Idris, yang baru dilantik menggantikan pejabat lama I Gede Subawa, mengatakan, sampai sekarang belum ada tanda-tanda akan diputuskannya besaran iuran untuk PBI oleh Kemkeu. Besaran iuran yang diusulkan berdasarkan rapat terbatas Menko Kesra masih di angka Rp 22.200. Ini merupakan angka moderat yang disepakati Tim Pokja BPJS Kesehatan.
Angka ini dianggap sudah rasional untuk memberikan pelayanan yang lebih berkualitas, terutama pelayanan di tingkat primer (puskesmas dan klinik) dengan menggunakan pendekatan dokter keluarga yakni untuk pencegahan sekaligus diagnostik. Komponen kapitasi sudah dihitung secara rasional dalam angka ini, meskipun sampai saat Ikatan Dokter Indonesia (IDI) menganggapnya belum rasional.
“Rencananya dalam waktu dekat Menkes akan melaporkan soal besaran iuran ini kepada Wakil Presiden. Tetapi belum diketahui tindak lanjut dari laporan itu,” kata Fachmi di sela-sela pelantikan pejabat eselon di lingkungan Kementerian Kesehatan, baru-baru ini.
Menurutnya, dengan historikal data yang dimiliki selama 45 tahun ini, Askes menganggap Rp 22.200 adalah angka optimal. Perhitungannya, jika hitungan rata-rata berdasarkan kelas di sebuah rumah sakit, misalnya kelas 1 (golongan 3-4B) preminya antara Rp 50.000 sampai Rp 60.000, dan untuk kelas 2 (golongan 1-2) antara Rp 40.000 sampai Rp 50.000, maka untuk kelas 3 rata-rata Rp 20.000-Rp 30.000.
0 komentar:
Posting Komentar